Hadis Tentang Larangan Berbicara Saat Khutbah Jum'at

Hadis Tentang Larangan Berbicara Saat Khutbah Jum'at

Hadis Tentang Larangan Berbicara Saat Khutbah Jum'at. Dan untuk takhrij hadisnya bisa dilihat di sini.
و إذا قال لصاحبه: أنصت فقد لغوْتَ.
و قال سلمان عن النبي صلي الله عليه و سلم: بنصت إذا تكلم الإمام[1]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum'at 'diamlah', padahal Imam sedang memberikan khutbah maka sungguh kamu sudah berbuat sia-sia (tidak mendapat pahala)."

Keterangan Hadis
Mendengarkan khutbah jum’at merupakan salah satu kewajiban jum’at. Imam Bukhari menolak pendapat yang mewajibkan mendengarkan khutbah itu dilakukan sejak khatib keluar, karena sabda Rasulullah SAW dalam hadis “dan Imam berkhutbah” adalah jumlah haliyah (susunan kalimat yang menunjukkan keadaan) sehingga tidak mencakup waktu sejak imam keluar dan sesudahnya, sampai imam memulia khutbahnya. Memang benar sebenarnya seseorang seseorang lebih baik diam seperti yang telah dianjurkan.
Adapun pada saat duduk di antara dua khutbah, penulis kitab Al-Mughni menyebutkan dua pendapat dari para ulama dalam masalah ini, yaitu berdasarkan bahwa pada saat itu imam tidak sedang berkhutbah atau karena waktu diamnya terlalu singkat seperti menarik nafas.
و إذا قال لصاحبك أنصت فقد لغا (Apabila dia berkata kepada temannya “Diamlah!” maka sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan sia-sia) Ini seperti riwayat Nasa’I dari Qutaibah dari Al-Laits yang menyebutkan dengan lafadz,  فقد لغا من قا ل لصاحبه أنصت  (Barangsiapa mengatakan kepada temannya, “Diamlah!”, mka dia telah melakukan perbuatan sia-sia). Maksud dari kata shahib di atas adalah orang yang diajak bicara.
Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Inshat adalah dia tidak emngucapkan kata-kata kepada orang lain selain zikir kepada Allah. Pendapat Ibnu Khuzaimah ini menuai kritikan, karena apabila yang demikian yang dimaksudkan maka membaca Al-Qur’an dan zikir ketika khutbah juga diperbolehkan. Secara lahiriah yang dimaksud adalah diam secara mutlak, dan orang yang membedakan antara keduanya harus menguatkan dengan dalil-dalil yang menunjukkannya.
يوم الجمة (Pada hari jum’at). Pengertiannya bahwa selain hari Jum’at (khutbah Jum’at), maka hukuk tersebut tidak berlaku. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam.
فقد لغوت (maka sengkau telah melakukan perbuatan sia-sia) Al-Ahkfasy mengatakan, Al-Laghwu adalah ucapan atau perkataan yang tidak mempunyai dasar, yaitu perkataan yang batil dan sejenisnya. Menurut Ibnu Arafah, Al-Laghwu adalah perkataan yang hina atau tidak berguna. Sedangkan pendapat lain menyatakan perkataan yang keluar dari kebenaran. Bahkan ada yang mengartikannya dosa, seperti firman Allah swt:
Artinya: “dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqan: 72)
            Menurut Ibnu Al-Manayyar, ahli tafsir sepakat bahwa Al-Laghwu adalah perkataan yang tidak baik. Adapun perkataan Abu Abid Al-Harawi dalam kitab Al-Garib sangat aneh, karena dia mengatakan bahwa kata Al-Laghwu memiliki arti berbicara. Nadhruddin Syumail mengatakan bahwa kata Laghauta berarti kamu tidak mendapat ganjaran .
Ahmad meriwayatkan dari hadis Ali RA dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: من قال: صه فقد تكلم, و من تكلم فلا جمعة له (Barangsiapa mengatakan “Diamlah”, maka ia telah berbicara, dan barangsiapa berbicara, maka dia tidak emndapatkan [pahala atau keutamaan] Jum’at).
Begitu juga apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud. Adapun riwayat Ahmad dan Al-Bazar dari Ibnu Abbas, dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah bersabda: من تكلم يوم الجمة والإمام يخطب فهو كالحمار يحمل أسفارا, والذي أنصت ليست له جمة  (Barangsiapa yang berbicara pada hari Jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka ia seperti himar (keledai) yang memikul kitab-kitab. Sedangkan orang yang menenangkan dengan mengatakan, “Diamlah!”, maka ia mendapatkan pahala Jum’at). Hadis ini diperkuat oleh hadis mauquf dalam kita Jaami’ Hammad bin Salamah, dari Ibnu Umar.
Menurut para ulama maknanya adalah ua tidak mendapatkan pahala shalat Jum’at secara keseluruhan. Ibnu At-Tin meriwayatkan dari sebagian ulama yang membolehkan berbicara kerika khutbah, yaitu dengan menta’wilkan sabda Rasulullah SAW, di mana arti kalimat فقد لغوت menurut mereka adalah kamu telah menyuruh diam orang yang tidak mau (diam). Ini adalah takwil yang sangat sulit untuk dibenarkan.
Kata-kata “Diamlah” meskipun memiliki konotasi makna yang baik tetatpi tetaplah dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia, maka kata-kata selainnya lebih patut dikatakan sebagai perbuatan yang sia-sia. Dalam riwayat Ahmad dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah RA di akhir hadis bab, bahwa setelah kalimat فقد لغوت disambung dengan kalimat عليك بنفسك (peliharalah dirimu).
Hadis tersebut menjadi dalil dilarangnya semua bentuk pembicaraan ketika khutbah berlangsung. Jumhur ulama juga berpendapat demikian bagi orang yang mendengarkan khutbah. Begitu pula hokum orang yang tidak mendengarkannya. Mereka mengatakan, ”Jika hendak berbuat kebaikan, maka hendaknya dengan isyarat.”
Menurut Ibnu Abdul Barr menukil ijma’ ulama bahwa kewajiban diam hanya bagi mereka yang mendengar, kecuali hanya sedikit dari tabi’in yang menyetujuinya. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut: “Tidak ada perbedaan antara ulama-ulama fiqih di seluruh negeri tentang kewajiban diam bagi orang yang mendengar khutbah Jum’at. Berdasarkan hadis tersebut, apabila kita mendapatkan orang yang tidak tahu tentang hukum ini, lalu ia berbicara ketika imam khutbah, maka kita tidak boleh mengatakan kepadanya “Diamlah!” atau kata-kata yang serupa dengannya.”
Dalam masalah ini Imam Syafi’I mempunyai dua pendapat yang masyhur. Menurut sebagian pengikut Syafi’I, bahwa letak perbedaan pendapat tersebut adalah apakah dua khutbah tersebut sebagai ganti dari dua raka’at shalah Zhuhur atau bukan. Berdasar pendapat yang pertama, khutbah merupakan pengganti dua raka’at shalat Zhuhur, maka berbicara disaat khatib sedang berkhutbah adalah haram.
Sedangkan berdasar pendapat yang kedua maka tidaklah haram, dan inilah yang benar menurut mereka. Maka tidaklah mengapa jika ada yang berbicara saat khatib di atas mimbar.
Dari Ahmad, ada dua riwayat yang keduanya juga membedakan antara orang yang mendengar khutbah dengan orang yang tidak mendengar khutbah. Sebagian pengikut Syafi’I membedakan antara orang yang berkewajiban menghadiri Jum’at dan mereka yang tidak berkewajiban. Bagi mereka yang berkewajiban shalat Ju’at, maka harus diam. Sedang bagi yang tidak berkewajiban hal itu disamakan dengan fardhu kifayah.
Keharusan diam ketika khutbah berlangsung bagi yang mendengarnya, telah diisyaratkan oleh hadis yang telah disebutkan, و من دنا فلم ينصت كان عليه كقلان من الوزر (Barangsiapa ayng dekat [mendengar suara khatib] dan tidak diam, maka ia mendapat dua dosa) karena dosa bukan diakibatkan melakukan hal yang mubah  atau sesuatu yang makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan).
Pengecualian diam ketika khutbah apabila khatib sudah keluar dari jalur yang disyariatkan di dalamnya, misalnya mendo’akan penguasa. Bahkan pengarang kitab At-Tahdzib menegaskan, bahwa berdo’a untuk penguasa adalah makruh.




[1] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari. Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz. Penerjemah Amiruddin, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 171.

Post a Comment

0 Comments