Penafsiran Ayat-Ayat Gender dalam Tafsir Ibn Katsir


Semua manusia setara di hadapan Allah swt dan tidak ada perbedaan yang dibuat antara laki-laki dan perempuan. Manusia karena fitrahnya mampu mendaki rangkaian gradasi kesempurnaan spiritual yang berpuncak pada kedekatan kepada ilahi.[1]
Jelas disebutkan dalam al-Qur’ân bahwa Allah swt tidak melebihkan laki-laki atas perempuan. Al-Qur’ân menyeru kepada prinsip keseteraan yang universal, tidak memandang jenis kelamin, etnis, atau pun bangsa.[2] Kelebihan seseorang atas orang lain di hadapan Allah swt hanya dilihat dari segi ketakwaannya kepada Allah swt, seperti yang disebutkan dalam a-Qur’ân surah al-Hujurat/49 ayat: 13, yaitu:
  
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat/49: 13)
 Peluang untuk berprestasi, melakukan amal saleh, dan peluang untuk masuk surga juga terbuka lebar untuk laki-laki dan perempuan. Karena memang hanya takwa yang membedakan manusia di hadapan Allah swt. Al-Qur’ân menyebutkan dalam surah al-Nisâ’/4 ayat124, yaitu:
    
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. Al-Nisâ’/4: 124)

Namun pada kenyataannya berbeda. Banyak terjadi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, yang dikenal dengan sebutan bias jender.
Gender adalah pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan budaya. Jender mengacu pada peran dan tanggung jawab untuk perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh suatu budaya, jadi bukan jenis kelamin yang mengacu pada perbedaan ciri biologis.
Kesalahpahaman terhadap perbedaan peran jender dan perbedaan jenis kelamin berimplikasi terhadap hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan, serta pengembangan kualitas hidup yang timpang antara keduanya. Ada sebagian orang yang mengacaukan masalah keadilan dalam kesetaraan jender sebagai usaha perempuan untuk menyaingi laki-laki, padahal maksud keadilan jender adalah perlakuan yang adil yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Dalam banyak kasus, perlakuan tidak adil lebih banyak menimpa perempuan, baik di rumah, di tempat kerja, maupun di masyarakat.
Salah satu penafsiran yang membuat kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki adalah penafsiran surah al-Nisâ’/4 ayat 1. Penafsiran dari ulama-ulama terdahulu semakin memperkuat argumen bahwa perempuan memang menjadi makhluk nomor dua dibandingkan laki-laki. Seperti penafsiran dalam surah al-Nisâ’/4 ayat 1, yaitu:

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. Al-Nisâ’/4: 1)

          Dalam QS. Al-Nisā’/4: 1, “dan darinya Allah menciptakan pasangannya.” Siti Hawa diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam as ketika dia sedang tidur. Saat Adam terbangun, dia kaget setelah melihatnya. Kemudian dia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa pun jatuh cinta kepada Adam as.[3]
   Banyak ulama terdahulu menafsirkan maksud dari QS. Al-Nisâ’/4 ayat 1 tersebut dengan demikian. Penafsiran semacam ini semakin membuat kaum perempuan berada di bawah laki-laki. Padahal menurut al-Qur’ân, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin ini adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan menghargai satu sama lain.[4]
Bukan al-Qur’ân yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran dari ayat al-Qur’ân yang kemudian membatasi gerak-gerik perempuan.[5] Isu-isu tentang perempuan dalam al-Qur’ân berdampak pada dua aspek penting. Pertama, al-Qur’ân akan membuktikan dalam ungkapan spesifik, dalam hal ini Wadud menyarankan agar al-Qur’ân selalu ditafsir ulang untuk menjaga relevansi al-Qur’ân. Kedua, kemajuan peradaban terlihat dari tingkat partisipasi kaum perempuan dalam masyarakat. Dalam Islam, pemahaman konsep tentang perempuan di dalam al-Qur’ân menujukkan tingkat peradaban yang maju. Jika pemahaman itu dijalankan sepenuhnya, Islam akan menjadi kekuatan yang mendorong pemberdayaan kaum perempuan.[6]
Kemudian muncul berbagai gerakan-gerakan untuk menyuarakan keadilan kesetaraan jender yang dikenal dengan Gerakan Feminisme. Gerakan Feminisme tersebar di seluruh dunia, baik di Barat maupun di Timur. Gerakan ini mengusung kesetaraan dan keadilan gender yang selama merugikan kaum wanita.
Argumen kesetaraan antara kedudukan laki-laki dan perempuan menjadi sangat penting untuk diperbincangkan. Kaum Feminis berupaya mensejajarkan kedudukan keduanya. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam kondisi sosial menjadi alasan penting bagi kaum Feminis untuk bisa mensejajarkan kedudukan mereka bersama laki-laki.
Dalam penafsiran lain QS. Al-Nisā’/4: 1, “dan darinya Allah menciptakan pasangannya.” Menegaskan bahwa al-Qur’ân telah menegakkan kemanusiaan perempuan dan memperjelas tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam segi kemanusiaan. Mereka sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang bersatu dalam solidaritas dan untuk membangun untuk suatu bangsa yang berbudi luhur, di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak yang sama.[7]
Jelas sekali al-Qur’ân telah menegaskan kesamarataan antara dua jenis seks ini. Namun pada kenyataannya banyak terjadi penyimpangan perlakuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua.
Dalam segala hal perempuan selalu tampak lebih rendah daripada laki-laki. Padahal al-Qur’ân menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara egaliter.
Penafsiran ini menjadi penting karena ingin memberikan jawaban bagaimana al-Qur’ân melindungi perempuan. Tulisan ini bertujuan memperlihatkan kepada semua manusia bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’ân (Islam). 




[1] Ali Hosein Hakim, et. al, Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, penerjemah: A. H. Jemala Gembala (T.tp: Al-Huda, 2005), h. 39.
[2] Amelia Fauzia dan Yuniyanti Chuzaifah, Apakah Islam Agama Untuk Perempuan? (Jakarta: PBB UIN, 2004), h. 4.
[3] al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kathir al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kathīr jilid IV (T.tp: Sinar Baru Algesindo, t.t), h. 425.
[4] Asma Barlas, Cara al-Qur’ān Membebaskan Perempuan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 241.
[5] Amina Wadud, Qur’ân menurut Perempuan Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, penerjemah: Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Semesta, 2006), h. 13.
[6] Amina Wadud, Qur’ân menurut Perempuan, h. 12-13.
[7] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam, penerjemah: Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakien (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h, 76.

Post a Comment

0 Comments