Metodologi Penulisan Tafsir Al-Manar Muhammad ‘Abduh Dan Muhammad Rasyid Rida

Sistematika Tafsir al-Manar
Tafsir al-Manar


PENDAHULUAN
Memasuki abad kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatkan terbawanya ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut. Pada saat itulah Muammad „Abduh berhasil mengembalikan ke rel yang sebenarnya, melalui tafsir al-Manār sebagai wadah ide-ide pembaharuan tafsir Muammad „Abduh dan muridnya, Rashīd Riā. Masa ini bisa juga disebut renaisance bagi penafsiran al-Quran. Untuk itulah makalah ini disajikan dengan beberapa point yang mencakup latar belakang al-Manar dan penulisnya, sumber penafsiran, metode dan corak, karakteristik, sistematika serta perbedaan antar Muammad „Abduh dan Muammad Rashīd Riā.


PEMBAHASAN
Muammad ‘Abduh Pelopor Tafsir Modern
Nama lengkapnya Muammad „Abduh bin asan Khoirullāh. Lahir pada tahun 1266 H/1849 M di Maallad Nar, Bukhairā, Mesir. Sejak kecil beliau sudah diharuskan untuk terus menuntut ilmu oleh orang tuanya. Pendidikan „Abduh diawali di anā dekat Kairo sekitar tahun 1862. Di sana beliau belajar ilmu tajwid, kemudian tahun 1864 kembali ke desanya. Setahun kemudian beliau di nikahkan pada usia 16 tahun. Setelah menikah, beliau belajar al-Quran kepada pamannya yang tinggal di Syibra Khit. Kemudian pada tahun 1866 M, beliau berangkat ke Kairo, Universitas al-Azhar. Di sana beliau belajar Filsafat Ibn Sina dan Aristoteles di bawah bimbingan syekh asan al-aawī. Sedangkan ilmu Bahasa Arab dan bahasa dibimbing oleh Muammad al-Basunī. Semangat menulisnya bermula dari kesenangannya mengikuti berbagai pertemuan ilmiyah dengan Jamaluddin al-Afghanī yang mempunyai semangat pembaruan. Di antara karya „Abduh yang diilhami oleh semangat pembaharuannya diantaranya Risālah al-„Aridah (1837), disusul kemudian dengan ashiyah „ala Shar al-Jalal al-Diwani li al-Adudīyah (1875). Di samping itu beliau juga menulis Tafsir al-Qurān al-Akām, yang nantinya dilanjutkan oleh Rashīd Riā, muridnya.
Abduh aktif di dalam mengeluarkan gagasan pembaruannya lewat surat kabar al-Aram, Kairo. Sebagian dari artikelnya itu mengundang kontroversi. Beliau hampir tidak diluluskan oleh universitas al-Azhar karena pemikirannya yang berseberangan itu, namun berkat pembelaan Syekh Muammad al-Mahdī al-Abbāsi yang menjabat Syekh al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi di al-Azhar pada tahun 1877 M dalam usia 28 tahun. Pada 1878 M, „Abduh mengajar ilmu bahasa Arab di Madrasah al-Idarah wa Alsun dan sejarah di madrasah Dār al-„Ulūm. Namun pada tahun 1879 M ia diberhentikan dan diasingkan ke tempat kelahirannya, maallat Nar (Mesir). Hal ini bersamaan dengan pengusiran Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang saat itu sangat berpengaruh.
Namun pada tahun 1880, Abduh dibebaskan dari sanksi pengasingan dan nama baiknyapun direhabilitasi, bahkan ia mendapatkan kehormatan untuk memimpin surat kabar resmi pemerintah, al-Waqāiz al-Misrīya. Pasca–Revolusi Urabi tahun 1882 M yang berakhir dengan kegagalan, „Abduh dituduh terlibat dalam kegiatan tersebut. Akhirnya, pemerintah Mesir mengasingkannya selama tiga tahun ke Suriah. Setahun di Suriah ia menyusul al-Afghani ke Paris. Mereka lalu menerbitkan surat kabar al-„Urwah al-Wusqā, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.[1]
Setelah meninggalkan Paris beliau mengajar di Beirut (Libanon) dan mengarang beberapa kitab diantaranya adalah Risālah al-Tauhīd, Shar Nahj al-Balāgah, al-Raddu „alā al-Dahriyyīn, dan Shar Maqāmat Badi al-Zaman al-Hamazani. Pada tahun 1905 „Abduh mencetuskan ide untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi dan mendapatkan respons baik dari pemerintah maupun masyarakat. Namun universitas Kairo itu berdiri setelah beliau meninggal dunia pada 11 Juli 1905 M. Secara ringkas, gagasan „Abduh tentang pembaruan atau reformasi Islam dapat digambarkan sebagai berikut2:[2]
1.      Kerangka Teori è Akal dan wahyu (Islam) selaras, tidak bertentangan
2.      Metodologi è Reinterpretasi ajaran Islam (al-Quran dan sunnah) secara rasional
3.      Dipengaruhi oleh è 1. Gagasan dan pemikiran pembaruan Islam al-Afghani 2. Kondisi umat Islam yang terpuruk akibat sikap Jumud
4.      Konsep Reformasi Islam è 1. Pembaharuan teologi Islam; membebaskan umat Islam dari taklid 2. Restrukturisasi dan pembaruan pendidikan Islam 3. Melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.
5.      Konstribusi Keilmuan è 1. Rasionalisasi tafsir 2. Rasionalisasi ajaran dan teologi islam

Mu
ammad Rashīd Riā Berguru dan Menapaktilasi ‘Abduh
 Nama lengkapnya Sayid Muammad Rashīd bin „Alī bin Riā bin Muammad Shamsuddīn al-Qalamūnī. Beliau lahir pada 27 Jumadil awal 1282 H (1865 M) di Qalamūn, sebuah desa yang tidak jauh dari Tripoli, Libya. Dan wafat pada tahun 1953 M. Setelah menempuh pendidikan pertamanya di sekolah al-Quran lokal, Rashīd Riā meneruskan pendidikannya ke madrasah Waanīyah al-Islāmiyah di Tripoli yang didirikan oleh Syekh usain al-Jisr, seorang ulama yang mempunyai pemikiran modernitas.
Di sana Rashīd Riā selain mendapatkan pelajaran agama juga mendapatkan pelajaran modern. Beliau juga belajar bahasa asing seperti Perancis, Turki dan bahasa Arab. „Abduh mempunyai kedekatan dengan Syekh usain al-Jisr sehingga beliau diberi kesempatan untuk menulis beberapa surat kabar Tripoli. Disamping itu Rashīd Riā juga belajar kepada Syekh Mamūd Nashabah dan Syekh Muammad al-Qawiji. Keduanya adalah pakar hadis. Kemudian Syekh „Abdul Gani al-Rāfī, syekh Muammad Kamil al-Rāfī, dan al-Ustadh Muammad al-usainin merupakan nama guruguru beliau.
Di antara negara Arab yang pernah dikunjungi Rashīd Riā diantaranya Hijaz dan Suriah, ia pergi ke sana untuk menanggalkan politik kolonialisme Inggris Perancis terhadap negara Arab. Rashīd Riā juga pernah datang di Jenewa sebagai anggota delegasi Suriah Palestina pada Konferensi Jenewa. Gerakan pembaharuan yang digalakkan oleh Muammad „Abduh dan Jamaluddin alAfghani mulai marak, saat itu Rashīd Riā aktif berdakwah di Libanon. Keduanya tokoh pembaharuan sangat dikagumi oleh Rashīd Riā.

Al-Manār: Tafsir Monumental Abad Modern
Latar Belakang Penulisan al-Manār
Ketika Islam berada pada era kegelapan (abad 19), permasalahan tafsir pun keluar dari rel yang sebenarnya yaitu terjadi disorientasi dalam penafsiran al-Quran. Penafsiran al-Quran yang sebenarnya fleksibel dan dialogis telah direduksi menjadi penafsiran yang monologis yaitu tafsir
yang berkisar sekitar pengulangan terhadap karya-karya mufassir terdahulu yang belum tentu kondusif untuk masa sekarang artinya tafsir al-Qur
an tidak membumi.
Muammad Rashīd Riā murid Muammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manār. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manār, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Quran dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat. [3]
Kitab Tafsir al-Manār yang bernama tafsir al-Qurān al-akīm karya Muammad Abduh dan Muammad Rashīd Riā ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam memasuki era modern. Di era ini umat īslam bangkit untuk melakukan reformasi, modernisasi dan purifikasi ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad mengalami kemunduran. Al-Manār terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rashīd Riā untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia. [4]
Tafsīr al-Manār tidak ditulis sampai rampung oleh Rashīd Riā, karena ia keburu meninggal. Penafsiran dari mulai surat al-fatīah sampai surat al-nisā ayat 125, (413 ayat) di ambil dari pemikiran Abduh, kemudian dilanjutkan oleh Rashīd Riā sebanyak 930 ayat mulai dari surat al-nisā ayat 126 sampai surat yūsuf ayat 111 dengan berpatokan pada metode Abduh. Kemudian dirampungkan oleh Muammad Bahjah al-Bayār5,[5] surat yūsufsampai al-nās.
Sumber Penafsiran Tafsir al-Manār
Dalam penafsirannya, „Abduh berpatokan dalam dua landasan: riwayat aī dan
nalar/rasional. Melihat hal ini, berarti „Abduh menggunakan bi al-Ma
tsūr dan bi al-Ray. Ia memadukan keduanya.[6]
Uraiannya terhadap ayat-ayat al-Quran begitu menakjubkan dan mengesankan. Makna ayat diungkap dengan mudah dan lugas. Ia juga mengilustrasikan segudang problematika sosial dan menuntaskannya dengan berpedoman pada resep al-Quran.

Metode dan Corak Penafsiran Tafsir al-Manār
Dalam tafsirnya, „Abduh telah mempelopori pengembangan tafsir yang bercorak adab al-ijtimāī atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan. Karena beliau
ingin melakukan reformasi sosial, membebaskan Islam dari bid
ah, mitos (wahm) dan khurafat. Dalam penafsirannya, beliau menggunakan metode talīlī (analisis). Melalui metode analisis yang bercorak adad al-ijtimāī ini pemahamannya sering bersebrangan dengan pemahaman para mufassir salaf al-āli. „Abduh memahami al-Quran sebagai tuntunan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Beliau menegaskan bahwa itulah tujuan utama al-Quran.
Menurut M. Quraish Shihāb yang dikutip oleh Rifat Syauqi Nawawi dalam bukunya Rasionalitas Tafsir Muammad „Abduh Kajian Masalah Aqidah dan Ibadah menyatakan, yang dimaksud dengan adabi al-ijtimai ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat alQuran pada segi ketelitian redaksi al-Quran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-Quran, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Rashīd Riā menyebutkan tiga ciri penafsiran „Abduh, yaitu; pertama, memberi tambahan keterangan terhadap ayat yang berkonotasi kurang jelas atau menjelaskan keterangan yang sengaja diringkas oleh penafsir-penafsir sebelumnya. Kedua, menghindari terjebak pada penjelasan kaidah-kaidah kebahasaan seperti nahwu, shorof dan balaghah, teteapi hanya memberi penjelasan seperlunya saja. Ketiga, tidak tekstual dalam memahami ayat.[7]

Karakteristik Tafsir al-Manār
Beberapa prinsip yang menjadi karakter Tafsir al-Manār adalah:
1.      Setiap surat merupakan kesatuan utuh dan ayat-ayat yang serasi Menurut „Abduh, pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat itu secara keseluruhan. „Abduh membuktikan dengan contoh surat al-Fajr ayat 1 dan“kesepuluh malam dan Fajar Demi. Hubungan antara kedua ayat tersebut terletak pada kesamaannya, yaitu fajar yang terbit dapat menggeser kegelapan malam, yang akhirnya malam dikalahkan oleh terang yang merata. Sedangkan ayat kedua adalah malam kesepuluh yang menghilangkan kegelapan malam dan akhirnya dikalahkan oleh malam-malam berikutnya, (malam bulan purnama). Hubungan yang kedua adalah dari segi fungsinya yang berbeda. Kalau fajar menggeser kegelapan malam, sehingga menjadi terang yang nyata maka malam kesepuluh menghilangkan kegelapan malam, tetapi lambat laun terjadi lagi kegelapan yang merata.
2.      Kandungan al-Quran bersifat universal Menurut „Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan berlaku sampai datangnya hari kiamat. „Abduh berpegang teguh pada kaidah al-ibrah bi umūm al-lafī la bi khuu al-sabab (pemahaman suatu ayat terletak pada keumuman lafal bukan paada sebabnya yang khusus). Dengan keumuman kandungan al-Quran tersebut, ia menolak pendapat yang membatasi pengertian dan kandungan al-Quran hanya pada masa tertentu. Misalnya, sifat-sifat orang munafik yang digambarkan pada awal surat al-Baqarah, tidak hanya ditunjukkan bagi kaum munafik pada masa Rasulullah saw., saja, tetapi berlaku buat setiap orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.[8]
3.      Al-Quran sebagai sumber utama syariat Islam Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Quran sebagai sumber hukum Islam adalah supaya al-Quran benar-benar menjadi sumber pertama. Maksudnya, kepadanya disandarkan segala madzhab dan pandangan keagamaan, bukannya madzhab-madzhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat al Quran dijadikan pendukung dari madzhabmadzhab tersebut.[9]
4.      Menentang dan memberantas taklid Pendapat tentang perlunya membuka pintu ijtihad dan usaha memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan al-Quran pada potensi kekuatan akal. Al-Quran, tidak hanya berbicara pada hati, karena al-Quran menempatkan akal pada posisi dan kedudukan yang tinggi. Ia menolak bersikap taklid buta kepada madhhab tertentu karena telah menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Untuk mensejajarkan diri dengan kemajuan yang dicapai oleh Barat, „Abduh menyerukan optimalisasi ijtihad sehingga ia identik dengan penganut mutazilah.[10]
5.      Penggunaan akal dan metode ilmiah Abduh mengatakan bahwa akal dan wahyu merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Salah satu contohnya, ketika „Abduh menafsirkan surat al-Baqarah: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkuasa menciptakan langit, lalu dijadikanNya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al Baqarah: 29). Bahwa yang dimaksud dengan istawā pada ayat tersebut adalah kekuasaan-Nya yang sempurna dan nikmat-Nya yang meliputi segala sesuatu di atas bumi ini, memberi manfaat sebesar-besarnya buat manusia. Dan manfaat di atas bumi ini ada dua, yaitu: manfaat untuk memenuhi kebutuhan fisik dan manfaat untuk mengembangkan akal pikiran dalam melakukan pengamatan terhadap fenomena alam.[11]
6.      Tidak menjelaskan masalah mubham dalam al-Quran Abduh mengatakan, jika terdapat kata-kata yang mubham dalam al-Quran, kita tidak boleh menerangkan maksud kata itu. Sebaiknya didiamkan saja sebagaimana al-Quran sendiri mendiamkannya, yakni tidak memberikan keterangan tentang hakikatnya. Terkadang „Abduh juga tidak berusaha menjelaskan arti suatu kata dalam al-Quran apabila ia menganggap pembahasan arti tersebut tidak banyak gunanya, atau selama makna yang dikandung oleh ayat itu telah dapat dipahami secara baik.[12] Seperti kata alBaqarah (sapi) di dalam surat al Baqarah:67 atau al Qaryah (kampung) yang disebut dalam ayat 58 atau anjing yang menyertai asab al-Kahfi dalam surat al-Kahfi ayat 18.
7.      Kritis dalam menerima hadis-hadis nabi. Sebagai contoh, „Abduh tidak menerima hadis saī tentang ketentuan al-awl dan alNisab sebagai syarat wajib zakat, hadis tentang Nabi saw., terkena sihir orang Yahudi, dan hadis tentang penciptaan manusia dari tulang rusuk. Hadis yang dipeganginya adalah yang mempunyai petunjuk sesuai dengan petunjuk al-Quran.
8.      Teliti terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israilliyat.
9.      Merelevansikan penafsiran al-Quran sesuai kebutuhan masyarakat
Sebagai contoh penafsiran „Abduh yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam surat al-Nisa
ayat 36:

“Sembahlah Allah dan jangalah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu/bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombung dan membangga-banggakan diri.” (QS. Al Nisa: 36)

Menurut „Abduh, jika manusia dapat menunaikan hak-hak Allah swt, maka akan baik akidah dan amalanya. Jika ia dapat melaksanakan hak kedua orang tuanya, maka akan baiklah keadaannya dan selanjutnya akan menciptakan kedamaian dalam rumah tangga.
Selanjutnya kedamaian dan kebaikan rumah tangga akan membawa kebaikan lingkungan dan masyarakat. Kebaikan masyarakat akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi anggotanya secara khusus dan manusia pada umumnya.[13]

Dengan karakteristik ini, Rashīd Riā mempersembahkan Tafsīr al-Manār kepada umat. Sebagaimana yang beliau persembahkan bahwa ia adalah tafsir Al Quran dalam perannya sebagai petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi alam semesta, memadukan prinsip-prinsip peradaban dan hukum sosial, sesuai dengan kemaslahatan manusia pada setiap tempat dan waktu, karena persesuain prinsip-prinsip dasarnya dengan akal, adab-adabnya yang fitrah dan hukum-hukumnya dengan mencegah kerusakan dan menjaga kemaslahatan. Karakteristik inilah yang menjadi ciri dari Tafsīr al-Manār sehingga terlihat jelas perbedaan dengan tafsir-tafsir lainnya.

Sistematika Penulisan/Penyajian Tafsīr Al-Manār
Sistematika Tafsīr al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir al-Quran yang lain. Kitab Tafsīr al-Manār menerapakan sistematika tertib musafī, yaitu suatu sistem penafsiran yang berkembang secara umum sejak periode ketiga, ketika mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan disiplin hadis, yaitu dengn munculnya trend baru menafsirkan al-Quran ayat demi ayat menurut tertib susunan musaf al Quran.[14]
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Quran, yaitu mulai surat al-fatīah sampai surat al-nisā ayat 125, (413 ayat) di ambil dari pemikiran Abduh, kemudian dilanjutkan oleh Rashīd Riā sebanyak 930 ayat mulai dari surat al-nisā ayat 126 sampai surat yūsuf ayat 111 dengan berpatokan pada metode Abduh. Kemudian dirampungkan oleh Muammad Bahjah alBayār16, surat yūsufsampai al-nās. Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syariat sunnatullah, serta eksistensi al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia.
Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan perspektif al-Quran.

Perbedaan antara ‘Abduh dan Rashīd Riā dalam Tafsīr al-Manār
Meskipun melalui Tafsīr al-Manār, Rashīd Riā mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya, Muammad „Abduh, terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut menyangkut: 1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. 2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat yang lain. 3. Penyisipan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar pada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problema-problema yang berkembang. Sedangkan persamaannya yaitu: 1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi 2. Ayat Al-Quran bersifat umum 3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum 4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran 5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw. 6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat

Contoh Penafsiran
Contoh yang dikemukakan di sini adalah penafsiran Rashīd Riā terhadap surat al-Anam 32:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau.”

Rashīd Riā memulai uraiannya dengan menerangkan bahwa al-Laib (permainan)
adalah “Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat atau mencegah ma
arat”. Sedang al-Lahwun “adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan lengahnya seseorang dari pekerjaannya yang lebih bermanfaat dan penting”, sehingga dengan demikian segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan adalah Lahwun.
Selanjutnya, dukutipnya pendapat al-Raghīb al-Asfahani serta pengarang kitab Lisan alArab (Ibnu Manzur) kemudian disusul dengan kesimpulan sementara bahwa al-Lahwu jika disebutkan tanpa dibarengi oleh suatu kata, maka ia berarti segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya atau kesedihan-kesedihannya; kesibukan tersebut dapat berupa permainan, nyanyian, atau apa saja yang mendatangkan kegembiraan.
Pengertian ini menurut Rashīd Ri
ā selanjutnya dapat lebih luas lagi sehingga ia terkadang berarti segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan walaupun bukan dengan tujuan menyibukkan diri dari sesuatu yang lebih penting dan berguna. Untuk pengertian
yang luas ini Rasyid Ridha mengutip sajak Umru
ul Qais:
Kata al-Lahwu dapat pula diartikan dengan menyibukkan diri dari suatu persoalan penting ke persoalan lainnya walaupun untuk maksud ini biasanya digunakan kata kerja bukan
mashdar (kata jadian) seperti firman Allah dalam surah „Abasa: 10
Setelah Rashīd Ri
ā menjelaskan arti kata tersebut, dia beralih untuk menafsirkan ayat Al-Anam 29 yang menggunakan kata-kata jadi, penjelasan yang cukup panjang dibarengi dengan mengutip sajak-sajak Abu ayīb al-Mutanabby dan Abu al-„Ala al-Maary, kemudian disusul dengan membandingkannya dengan ayat-ayat surah Muhammad 36, al-adid 20 dan alAnkabut 63, dengan menyatakan bahwa dalam ayat al-Ankabut, Tuhan mendahulukan al-Lahwu daripada al-Laibu sedang dalam ayat yang lain sebaliknya.
Menurut Rashīd Riā, sebagian besar mufassir tidak memberikan perhatian menyangkut perbedaan redaksi tersebut karena mereka beranggapan bahwa huruf wa (dan) hanya sekedar
“menghimpun antara apa yang disebut pertama dengan yang disebut sesudahnya” tanpa mengandung suatu rahasia mengapa kata ini didahulukan atau dikemudiankan. Menyangkut hal ini dikutipnya pendapat-pendapat al-Alūsī, al-Khatib al-Iskafī, kemudian dikemukakan pandangannya. Menurut Rashīd Ri
ā, mencari rahasia didahulukannnya al-Laibu atau al-Lahwu tidaklah merupakan hal yang sulit, bahkan tidak perlu dipertanyakan karena hal tersebut merupakan urutan-urutan kronologis yang wajar bagi kehidupan manusia seperti yang dijelaskan dalam ayat 20 surah al-adīd:
“bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.”
Ayat ini bermula dengan al-Laibu karena hal itulah gambaran dari karena hal itulah gambaran dari permulaan perkembangan dan pertumbuhan manusia sebagai bayi, yang merasakan lezatnya permainan walaupun ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Setelah itu disebutkan al-Lahwu karena hal itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang telah memiliki sedikit pikiran, bukan oleh seorang bayi. Kemudian disusul dengan alZinatu (perhiasan) karena yang demikian itulah sifat remaja, setelah itu Tafakhoru (berbanggabangga) karena itulah sifat pemuda dan diakhiri dengan Takatsuru di al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta/anak) karena itulah sifat orang dewasa.


PENUTUP
Simpulan
Dari uraian di atas, maka dapat kami simpulkan melalui tabel berikut:



Penutup Alhamd li Allah Rabb al-„Ālamīn, Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat kepada kami atas kekuatan serta kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsir Juz „Amma. Kairo: Dar al Hilal.1968
Al Dzahabi, Husain. Tafsir wal Mufassirun. Juz 3. Kairo: Dar al-Maktabah. 1976
Ali Iyazi, Sayyid Muhammad. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum Amin Ghofur, Saiful. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulum al Quran. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009
Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Quran. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985 Hidayatullah, Khalid. Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al Manar. Jakarta: el Kahfi. 2012
Mahmud Shahatah, Abdullah. Manhaj al Imam Muhammad Abduh fi tafsir al Quran. Kairo: Maktabah Wahbah. 1963
Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina. 2002 Riā, M Rashīd. Tafsir al Manar. Jilid I






[1] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 141.
[2] Khalid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir al-Manar (Jakarta: el-Kahfi, 2012), h. 64.
[3] Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firsaus, 1985), h. 161.
[4] (Keterangan tentang Tafsir al-Manar ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi)
5 Muhammad Bahjah bin Bahā‟u al-Dīn Al Bayṭār „Alāmah, lahir tahun 1311 H di Damaskus dalam keluarga yang mulia dan berilmu, berasal dari Aljazair. Pernah belajar di beberapa sekolah. Belajar bahasa Arab di Fakultas Adab di Universitas Suriah. Pernah menjadi anggota organisasi bahasa Arab Damaskus dan Baghdad.
Beliau memiliki beberapa karya intelektual. Wafat tahun 1396 H (lihat Itmām Al A‟lām, hlm. 224)
[6] Saiful Ghofur, Profil, h. 143.
[7] Husain adz Dzahabi. Tafsir wal Mufassirun. Juz 3. ( Kairo: Dar al-Maktabah. 1976). h. 598-599.
[8] Khalid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al Manar. (Jakarta: el Kahfi, 2012),
h.73
.
[9] Abdullah Mahmud Shahatah, Manhaj al Imam Muhammad Abduh fi tafsir al Qur‟an, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1963), h.49
.
[10] Abdullah Muhammad Shahatah, Manhaj al Imam Muhammad Abduh fi tafsir al Qur‟an ,h. 83
[11] M Rasyi Ridho. Tafsir al Manar. Jilid I, h.249
[12] Muhammad Abduh, Tafsir Jus ‘Amma (Kairo: Dar el-Hilal, 1968), h. 26.
[13] Abdullah Muhammad Shahatah, Manhaj al Imam Muhammad Abduh fi tafsir al Qur‟an,h. 171-172.
[14] M. Husain al Dzahabi. Al Tafsīr wa al-Mufassirūn. (Kairo: Dar al Maktabah, 1976), h.547

Post a Comment

0 Comments