TAFSIR AL-ISYARI

TAFSIR AL-ISYARI
Jurusan Tafsir Hadis
Tafsir Isyari
al-Qur'an


PENDAHULUAN

 Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini. 

            Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
            Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir Al-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’ tentang tafsir tersebut.

PEMBAHASAN

1.             Pengertian tafsir Al-isyari

Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan dimana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al- Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari. 
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
·                Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”.
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).[1]
·                Tafsir al-Isyari sebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”[2]
·                Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat. [3]

Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu..[4] 

Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). 

2.             Pendapat ulama mengenai Tafsir Al-Isyari
Terjadi perbedaan pendapat mengenai fenomena tafsir sufi isyari. Berikut pendapat pendapat Ulama yang mendukung tafsir isyari. Diantaranya :

1.    As-Suyuti menjelaskan berdasarkan riwayat dari Atho’, bahwa tafsir dari kelompok ini  (sufi isyari) mengenai kalamullah dan sabda Nabi Muhammad dengan makna bahasa Arabnya tidak seluruhnya menyimpang dari makna eksternalnya, tetapi makna eksternal ayat-ayat biasanya dapat dipahami. Karena itu, tidak dapat menghalangi seseorang menerima ayat ayat dari para ulama ini.[5]

2.    Al-Taftazani dalam Syarah al-‘Aqaid membandingkan antara penafsiran kaum bathiniyah dengan Arbab as-suluk[6] dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Kaum Bathiniyah berpendapat bahwa nash nash Al-Qur’an tidaklah dimaknai secara lahir tetapi mempunyai makna lain yang hanya  diketahui oleh guru spiritual. Tujuan yang sebenarnya dalam pernyataan itu adalah menghilangkan syari’at secara keseluruhan dan membatalkan hukum. Pendapat ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sedangkan kaum Arbab al-suluk berpendapat bahwa nash nash Al-Quran tetap pada lahirnya, namun bersamanya memuat isyarat yang samar terhadap sesuatu yang hanya dibukakan untuk orang orang suluk, yang di dalamnya terjadi kecocokan antara isyarat itu dengan lahir nya nash yang dikehendaki. Yang demikian itu merupakan kesempurnaan iman dan kema’rifatan. Bahkan mereka mewajibkan mengetahui makna lahir terlebih dahulu. Pendapat kaum Arbab Al-Suluk ini bisa diterima, karena tidak meniadakan makna lahir suatu ayat.[7]

Dalil-dalil yang menjadi landasan para pendukung tafsir isyari, diantaranya :

1.             Kisah Nabi Khidir dan Musa as, dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 65 :

#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ  
Artinya:  “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Surat Al-Kahfi ayat 65) [886].[8]

2.                  Mereka yang mendukung tafsir ini juga berdasarkanpada hadis mauquf yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori,[9] tentang tafsiran ibnu Abbas pada surat Al-Nashr. Ketika Umar ra mengajak Ibnu Abbas berkumpul bersama para perajurit perang badar, mereka meremehkan kemampuan Ibnu Abbas yang saat itu masih kecil. Kemudian mereka ditantang oleh Umar untuk menafsirkan makna surat Al-Nashr, ternyata Ibnu Abbas mengutarakan penafsiran yang sama sekali berbeda dengan pandangan umum mengenai tafsir surat Al-Nashr. Para prajurit perang badar menafsirkan ayat pertama surat Al-Nashr:
#sŒÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ  
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”,

Penafsiran yang diketahui pada umumnya adalah himbauan agar bersyukur atas kemenangan kota Mekkah. Sedang Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat tersebut ditunjukan kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu mengisyaratkan kepadanya bahwa ajalnya(Rasulullah) akan segera tiba.

Pendapat dan alasan ulama yang menolak tafsir sufi isyari diantaranya :

1.             Al-Zarqani mengutip pendapat Al-Nasafi, ia mengemukakan pandangan-pandangannya ketika mengomentari tafsir sufi isyari dalam kitab ‘Aqaid, bahwa teks Al-Quran didasarkan atas segala luar dan penolakan ini mengakibatkan implikasi serius sehingga makna ayat akan menjadi lebih dekat dengan bid’ah dan kemurtadan.[10]

2.             Al-Zarkasyi mengatakan, bahwa penjelasan kaum sufi mengenai tafsir Al-Quran bukanlah suatu penafsiran.[11]

3.             Ibnu Sholah berkomentar tentang tafsir sufi isyari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuti dalam fatwanya Ibnu Sholah berkata : saya mengetahui dari Abu Hasan Al-Wahidi, ia berkata: Abu ‘Abdurrahman Al-Sulami telah menyusun buku ‘Aqaid Al-Tafsir. Jika ia meyakini apa yang ia susun itu adalah tafsir, maka ia telah menjadi kafir.[12]

          Perselisihan dan perbedaan pendapat antara ulama ini, menghasilkan keputusan dengan member jalan tengah antara ulama yang mendukung dan melarang, dengan mengajukan syarat syarat sufi tafsir isyari yang bisa diterima. Tujuan dan syarat syarat ini agar para mufasir ataupun para pembaca tafsir berhati hati dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Tafsir sufi isyari tidak bisa diterima menurut para Ahli ilmu Al-Quran, jika syarat syarat berikut tidak dipenuhi :

1.    Tidak meniadakan makna lahir ayat Al-Qur’an.
2.    Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan murad satu satunya, tanpa ada makna lahir.
3.    Hendaknya suatu takwil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal.
4.    Hendaknya ia tidak bertentangan dengan syara’ maupun akal.
5.    Hendaknya dalam takwil atau isyarat itu tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.[13]

Tanpa syarat syarat tersebut, tafsir sufi isyari tidak dapat diterima. Sebab jika tidak memenuhi syarat syarat tersebut, ia termasuk dalam kategori tafsir bil rayi yang dilarang atau sekedar  penafsiran yang hanya mempertaruhkan hawa nafsu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan  bahwa tafsir isyari merupakan cara penafsiran atas isyarat yang terkandung dalam Al-Quran dimana maknanya hanya dapat diketahui oleh orang orang tertentu dari kalangan ulama dan ahli sufi. Penafsiran tersebut dapat diterima apabila memenuhi persyaratn tertentu  yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, syariat, dan akal. Namun, tafsir isyari bukanlah tafsir bathiniyah yang hanya mengakui makna batin ayat tertentu akan menghilangkan kandungan hukum yang tersirat dalam ayat Al-Quran sehingga dapat menyesatkan umat.


Kitab-kitab tafsir isyari
1.      Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury. Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
2.      Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi. Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
3.      Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani) Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
4.      Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi (w.238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
5.      Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H). Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
6.      Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(w.606 H).

PENUTUP
KESIMPULAN

Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang mentakwilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992.
Muhammad Aly Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur`an, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Talhas, Hasan Basri, Spektrum Saintifika al-Qur`an, Jakarta : Bale Kajian Tafsir al-Qur`an Pase, 2001.
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2000.





[1] Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992) hal. 489
[2] Muhammad Aly Ash-shabuny, studi ilmu al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999),
[3] Talhas, Hasan Basri, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an, (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001),hal 15.
[4] Roshan Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal. 166.
[5] Al-Suyuti, al-itqan fi ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, h. 184.
[6] Kaum sufi/ para pencari  tuhan
[7] Muhammad Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ulum al-Quran,h. 78-79
[8] [886] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.

[9] Al-Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Ttp:Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H), Juz V, h. 94
[10] Muhammad Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ulum al-Quran,h. 78
[11] Al-Zarkasy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, h. 180.
[12] Al-Suyuti, al-itqan fi ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, h. 184
[13] Muhammad Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ulum al-Quran,h. 81.

Post a Comment

0 Comments