HADIS TENTANG KEPEMIMPINAN

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
(studi terhadap hadis kepemimpinan Quraisy, larangan meminta jabatan, dan kepemimpinan perempuan)

Gusti Rahmat & Raja Usman Efendi HSB
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta
بسم الله الرحمن الرحيم

Kepemimpinan dalam hadis
Pemimpin

Abstract: Leadership is very important to a countries. Countries become dependent on the leader. Period of Rasūlullāh saw, leadership is at the Quraisy. Although leadership allowed to everyone who has the capability and credibility to lead. Ask for the position is not good. Because of the negative effects. Then, woman’s leadership underestimated. Although, no problem if woman become a leader. Because ḥadith from Rasūlullāḥ saw just for daugther of the king.

Abstrak: Kepemimpinan sangat penting bagi sebuah negara. Negara dapat berjalan dengan baik tergantung kepada pemimpinnya. Masa Rasūlullāh, kepemimpinan berada pada kaum Quraisy. Padahal kepemimpinan dibolehkan kepada semua yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas memimpin. Meminta jabatan (kepemimpinan) adalah hal yang tidak disukai (makruh). Karena menimbulkan efek negatif. Kemudian, kepemimpinan perempuan dipandang sebelah mata. Padahal tidak mengapa perempuan menjadi pemimpin. Karena hadis Rasūlullāh saw tertuju pada putri raja.

Keyword: Leadership, Leader, Quraisy, Woman’s Leadership

Pendahuluan
Kehadiran seorang pemimpin menjadi sesuatu sangat penting untuk menjaga stabilitas negara, baik politik, ekonomi, keamanan, dan sosial. Oleh karenanya, setiap negara memiliki persyaratan untuk seorang menjadi pemimpin. Istilah pemimpin dikenal dengan khalifah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu dikenal dengan khilafah.
Pada zaman permulaan Islam, kepemimpinan sangat diberatkan kepada suku Quraisy. Karena di dalam hadis Rasulullah saw, "Senantiasa urusan (khilafah/pemerintahan) ini di tangan suku Quraisy sekalipun tinggal dua orang dari mereka". Selain itu, kepemimpinan suku Quraisy pada saat itu sangat menonjol, ditambah penduduk sangat menginginkan dipimpin oleh suku Quraisy.
Meskipun kepemimpinan diberatkan kepada suku Quraisy tidak menutup kemungkinan bahwa orang di luar suku Quraisy bisa menjadi pemimpin. Seseorang menjadi pemimpin karena memiliki kemampuan memimpin. Namun tidak dibenarkan meminta jabatan.
Pada saat sekarang, banyak orang-orang yang mencari, meminta, dan berambisi untuk mendapatkan jabatan. Orang-orang rela mengeluarkan harta benda, tenaga, hanya untuk sebuah jabatan. Padahal Rasulullah melarang seseorang untuk meminta jabatan. Karena banyak menimbulkan dampak negatif.
Saat ini pula para pendukung kesetaraan gender selalu menginginkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tidak sedikit juga perempuan yang menginginkan kepemimpinan atau jabatan. Terdapat perbedaan tentang kepemimpinan perempuan. Ada yang mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan sedikit pemahaman dengan menggunakan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah-masalah yang telah disebutkan.

Pengertian Imāmah, Khalīfah, Amīr
Imāmah
Kata Imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kebaikan. Adapun kata-kata imāmah dita’rifkan oleh Mawardi dengan:
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين و سياسة الدنيا.
          Imāmah adalah suatu kedudukan/ jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”[1]
Yusuf Musa mensitir pendapat ibnu Khaldun tentang definisi khalīfah yang disamakan dengan imāmah yaitu;
والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعى فى مصالحهم الأخروية والدنيا ترج كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الاخرة – فهي حفلافة عن صاحب الشرع فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.
“al-Khilafah membawa/ memimpin masyarakat sesuai dengan kehendak agama dalam memenuhi ke-maslahatan akhiratnya dan dunianya yang kembali kepada ke akhirat-an itu, karena hal ihwal ke duniaan kembali seluruhnya menurut Allah untuk ke-maslahatan akhirat. Maka kekhilafahan itu adalah kekhilafahan dari pemilik syara di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”
Definisi yang lain dikemukakan oleh al-Ijli adalah:
Imāmah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan dunia. Tetapi, lebih tepat lagi apabila dikatakan bahwa Imāmah adalah pengganti Nabi dalam menegakkan agama.”
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, penulis lebih setuju kepada Mawardi. Karena pengertian yang diungkapkannya begitu ringan dan mudah dipahami.

Khalīfah
Dalam Al-Qur’an kata khālifah lebih menunjuk kepada fungsi manusia secara keseluruhan daripada seorang kepala negara. Kata khalīfah sebagai kepala negara yaitu sebagai kepala negara “pengganti” Nabi dalam memelihara agama dan dunia.
          Seorang khalīfah tidak maksum, tidak pula mendapat wahyu, serta tidak memonopoli urusan agama. Dia hanya seorang manusia biasa yang dipercaya dalam memimpin agama, bersifat adil, seperti yang tampak pada Khulafa al-Rasyīdīn. Mereka tidak disebut dengan khalifatullah, melainkan disebut dengan khalifatu Rasūlillāh karena yang diganti bukan Allah melainkan Nabi.

Amīr
Kata amīr ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an  meskipun kata amara sering disebut dalam Al-Qur’an, yang mengarah kepada arti kepemimpinan adalah ulil amri. Kata ulil amri ini ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan, ada yang menafsirkan dengan kepala negara, pemerintahan, ulama.  Syi’ah mengartikan ulil amri ini sebagai imam-imam maksum.
          Pada masa sahabat, kata amīr telah dikenal. Karena ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah Bani Saidah membicarakan pengganti Rasūlullāh saw dalam mengurus agama dan mengatur keduniaan. Orang-orang Anshor berkata:
منا أمير و منكم أمير
          “Dari kami ada Amir dan dari Tuan-tuan juga ada Amir.”[2]

Hadis Tentang Pemimpin Quraisy
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ وَالنَّاسُ مَعَادِنُ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا تَجِدُونَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ أَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهِيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ حَتَّى يَقَعَ فِيهِ
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Al Mughirah dari Abu Az Zanad dari Al A'Raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallhu 'alaihi wa salam bersabda: "Manusia akan mengikuti Quraisy dalam urusan ini (pemerintahan) orang Muslim lain akan mengikuti Muslim mereka (Quraisy) begitu juga orang kafir akan mengikuti orang kafir mereka (quraisy). Dan manusia beragam asal-usulnya (dan kualitas perilakunya), maka orang-orang yang baik pada zaman jahiliyyah akan menjadi baik pula pada zaman Islam bila mereka memahami (Islam), dan kalian akan temui pula bahwa manusia yang paling baik dalam urusan (khilafah/pemerintahan) ini adalah orang yang paling menbenci (tidak selera) terhadap urusan pemerintahan ini hingga dia masuk ke dalamnya".(Jika sudah masuk dalam pemerintahan karena untuk menegakkan keadilan dan menegakkan hukum Allah, jika bukan untuk ambisi pribadi dan golongan, maka bukan hal itu perkara yang dibenci). [HR. al-Bukhārī]

Takhrij:
Matan hadits yang dikutip dari hadits di atas adalah تَبَعٌ bila ditempuh dengan metode takhrij al-hadits bi al-fazh, maka data-data yang disajikan ialah:[3]
خ: مناقب ١,
م: إمارة ١-٣,
 حم: ١=,٥, ١٠١. ٢= ٢٤٣, ٢٦١, ٣١٩,٣٩٥, ٤٣٤. ٣= ٣٣١, ٣٧٩, ٣٨٣. ٤= ١٠١

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمْ اثْنَانِ
Telah bercerita kepada kami Abu Al Walid telah bercerita kepada kami 'Ashim bin Muhammad berkata, aku mendengar bapakku dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallhu 'alaihi wa salam bersabda: "Senantiasa urusan (khilafah/pemerintahan) ini di tangan suku Quraisy sekalipun tinggal dua orang dari mereka". [HR. al-Bukhārī]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا فَقَالَ أَبِي إِنَّهُ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abdul Malik, aku mendengar Jabir bin Samurah mengatakan, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "akan muncul dua belas pemimpin, " kemudian beliau mengucapkan kalimat yang tidak dapat kami dengar, maka ayahku berkata; beliau mengatakan: "Kesemuanya dari qurasy." [HR. al-Bukhārī]

Penjelasan Hadis:
Berdasarkan dari hadis tersebut, ulama sependapat bahwa kepala negara haruslah dari suku Quraisy. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H = 1449 M), tidak ada seorang ulama pun kecuali dari kalangan Muktazila dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara berada pada orang yang bukan dari suku Quraisy. Dijelaskan juga bahwa dalam sejarah telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalīfah dan mereka tidak dari suku Quraisy.[4]
Pendapat ulama tersebut menjadi pegangan para penguasa para umat Islam. Ulama pertama yang memberikan pengertian berbeda adalah Ibn Khaldun (w. 808 H = 1406 M). Menurut Ibn Khaldun, pengertian Quraisy dalam hadis bukan masalah kesukuannya, melainkan kemampuan kepemimpinannya.[5]
Pada zaman permulaan Islam, suku bangsa dari kalangan umat Islam yang menonjol dalam hal kepemimpinan ialah yang berasal dari suku Quraisy. Secara sosiologis, zaman itu masyarakat hanya menginginkan dipimpin oleh kepala negara yang bersuku Quraisy. Dalam sejarah perkembangan Islam, orang-orang di luar suku Quraisy juga memiliki kemampuan memimpin dan memiliki wibawa untuk menjadi seorang kepala negara.
Dari salah satu hadis yang disebutkan, hadis tersebut merupakan dalil bahwa akan muncul dua belas khalīfah yang adil. Mereka bukanlah imam Syi’ah. Adapun dua belas imam ini berasal dari suku Quraisy, mereka memerintah dan berlaku adil.[6]
Kabar gembira tentang mereka telah disebutkan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kemunculan mereka bisa secara berurutan, bisa pula tidak. Empat dari mereka yang telah muncul secara berurutan adalah Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar, Utsman, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib.[7]

Hadis Tentang Larangan Meminta Jabatan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al 'Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa radliallahu 'anhu mengatakan; aku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama dua orang kaumku, lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan; 'Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah? ' orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadapnya." [HR. Al-Bukhārī]

Takhrij:
Matan hadits yang dikutip dari hadits di atas adalah حَرَصَ bila ditempuh dengan metode takhrij al-hadits bi al-fazh, maka data-data yang disajikan ialah:[8]
خ: احكام ٧
م: إمارة ١٤

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Al Hasan telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, Janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika engkau diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong, dan jika kamu melakukan sumpah, kemudian kamu melihat suatu yang lebih baik, bayarlah kaffarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik." [HR. al-Bukhārī]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, kitab Sumpah dan Nadzar (LXXXIII), Bab Firman Allah Ta’ala, “Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah.”[9]

Penjelasan Hadis:
Hadis tersebut berisi tentang peringatan Rasūlullāh saw kepada ‘Abd al-Raḥman bin Samurah agar ia tidak meminta jabatan. Meski hadis tersebut diucapkan kepada ‘Abd al-Raḥman, tetapi larangan meminta jabatan ini berlaku kepada semua umat Nabi Muḥammad saw. Siapa pun dan di mana pun mereka berada, Rasūlullāh saw melarang meminta jabatan. Ada beberapa dampak negatif dari jabatan yang diraih dengan cara permintaan atau ambisi.[10]
Pertama, orang yang berambisi mendapat jabatan akan cenderung menempuh cara yang tidak halal. Ketika seseorang mendapatkan jabatan dari cara yang tidak halal, besar kemungkinan jabatan itu akan disalahgunakan. Maka jabatan tidak akan dianggap lagi sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Kedua, orang yang mendapat jabatan karena ambisi akan dibebani dengan jabatan itu sendiri. Beratnya pekerjaan dan tanggungjawab harus dijalani.
Penyalahgunaan jabatan yang diraih karena permintaan sangat besar peluangnya. Dalam sebuah hadis, Rasūlullāh pernah bersabda, “Kalian akan menghadapi sepeninggalku suatu monopoli dan mengutamakan kepentingan diri sendiri atau sistem keluarga.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang engkau pesankan kepada kami jika terjadi semua itu?” Rasulullah saw bersabda. “Tunaikanlah kewajibanmu, dan kamu tuntut kepada Allah hakmu.”
Kepemimpinan atau jabatan tidak dibenarkan diberikan kepada seseorang yang meminta atau berambisi atas kepemimpinan itu. Orang yang memiliki hak memimpin adalah orang yang ketika diberikan kepemimpinan ia menolak dan kedudukan itu sangatlah dia benci. Kemudian, kepemimpinan merupakan amanat dan tanggungjawab yang besar. Maka pemimpin harus melihat kepada orang-orang yang di bawahnya, dilarang khianat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Faṭul Baari, Sesungguhnya para pemimpin yang hanya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dari jabatannya serta tidak pernah mendapatkan kesusahan dan kesulitan, maka semasa di dunia ia harus dipecat dari jabatan hingga ia merasakan kesulitan, atau ia akan mendapat siksaan yang lebih berat di akhirat nanti. Nasallahu al-'afwa (kita memohon ampunan kepada Allah).[11]
Siapa saja yang meminta jabatan lalu dia diberikan, maka dia tidak akan mendapat pertolongan Allah karena ambisinya. Meminta sesuatu yang berkaitan dengan jabatan adalah makruh. Maksud jabatan di sini adalah pemerintahan, pengadilan, keuangan, dan lainnya. Siapa saja yang berambisi dalam jabatan, maka dia tidak akan ditolong Allah. Hal ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan Abū Dawūḍ dari Abū Hurairah yang diriwayatkan secara marfu’,
من طلب قضاء المسلمين حتى يناله ثم غلب عدله جوره فله الجنة ومن غلب جوره عدله فله النار
“Siapa saja meminta jabatan untuk mengadili kaum Muslimin hingga mendapatkan kemudian keadilannya mengalahkan kecurangannya maka baginya surga. Tapi siapa saja yang kecurangannya mengalahkan keadilannya maka baginya neraka.”[12]
Untuk mengkompromikan antara kedua riwayat tersebut dikatakan bahwa keberadaannya tidak diberi pertolongan sama sekali berkonsekuensi bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil bila sempat memangku jabatan. Bisa pula kata ‘meminta’ diartikan sebagai sebagai maksud, sedangkan pada hadis lain sebelumnya berarti ambisi. Orang yang berambisi memperoleh jabatan tidak akan diberikan jabatan, hal ini sejalan dengan hadis Rasūlullāh saw, yaitu:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُمْرَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلَهُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan dihari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan." Muhamad bin Basyar berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Humran telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja'far dari Sa'id Al Maqburi dari Umar bin Al Hakam dari Abu Hurairah seperti diatas.” [HR. Al-Bukhārī)[13]

Hadis Tentang Pemimpin Perempuan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنْ اسْتَخْلَفُوا قَالُوا ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِهِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Al Hasan dari Abu Bakrah berkata: Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alahi wa Salam saat Kisra mati, beliau bersabda: "Siapa yang menjadi penggantinya?" mereka menjawab: Putrinya, nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita." Berkata Abu Bakrah: Saat 'A`isyah tiba di Bashrah, aku sebutkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alahi wa Salam lalu Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjagaku dengan sabda itu. [HR. al-Tirmidzī]
Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan shahih.

Takhrij:
Matan hadits yang dikutip dari hadits di atas adalah يفْلِحَ bila ditempuh dengan metode takhrij al-hadits bi al-fazh, maka data-data yang disajikan ialah:[14]
خ: مغاذي ٨٢, فتن ١٨
ت: فتن ٨٥
ن: قضاة ٨
حم: ٥, ٤٣, ٥١, ٣٨, ٤٧

Sabab al-Wurud:
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barry yang dikutip oleh Amelia Fauzia dan Yuniyanti Chuzaifah, Nabi Muhammad pada saat itu kecewa dengan raja Chusrou di Syiria. Ketika utusan Nabi Muhammad datang ke Raja Chusrou Anusyirwan yang masih beragama Majusi, raja tersebut tidak merespon. Maka ketika Nabi Muhammad mendengar bahwa Raja Chusrou akan digantikan oleh putrinya Bauran, Nabi Muhammad secara spontan membuat komentar negatif di atas yang direkam dalam hadis, karena Bauran tidak punya kapabilitas kepemimpinan.

Penjelasan hadis:
Ayat al-Qur’an yang selaras dengan hadis di atas adalah dalam surah al-Nisa (4) ayat 34, yaitu:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” [QS. Al-Nisa/ 4: 34].
Hadis ini bukan ditargetkan kepada seluruh perempuan, melainkan ditargetkan kepada anak Anusyirwan yang tidak memiliki kredibilitas kepemimpinan. Hadis ini tidak bermaksud untuk mendiskriminasi gender, tetapi menekankan integritas dan kapabilitas kepemimpinan suatu negara.[15]
Muhammad Rasyid Ridha berkata: Maksud dari urusan mereka yang telah dikenal dan sudah biasa dilakukan terhadap wanita yaitu perlindungan, penjagaan, kekuasaan, dan kecukupan. Allah SWT memberikan kelebihan kepada laki-laki atas wanita dalam asal penciptaan dan Allah memberikan kepada laki-laki apa yang tidak diberikan Allah kepada wanita yaitu kemampuan dan kemampuan.
Laki-laki itu lebih mampu berusaha, menciptakan dan melakukan tindakan. Oleh karena itu, laki-laki diberikan beban untuk memberikan nafkah kepada wanita, melindungi mereka, dan melaksanakan urusan kepemimpinan dalam yang umum dalam lingkup keluarga.
Hadis tersebut juga memberikan penjelasan bahwa tidak sah kepemimpinan seorang wanita. Suatu bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita tidak akan mencapai keberhasilan dalam urusan agama dan dunianya. Tidak sahnya kepemimpinan itu adalah menurut pendapat mayoritas ulama, di antara mereka Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad.[16]
Menurut mazhab Hanafi, keputusan hukum seorang perempuan yang diterima kesaksiannya adalah sah. Apabila keputusan hukum yang dikeluarkannya sejalan dengan ketentuan Allah maka itu diterima. Apabila dia mengambil satu keputusan hukum yang terkait dengan masalah pidana yang kemudian disetujui oleh hakim laki-laki, maka tak seorang pun boleh membatalkannya.[17]
Pendapat berbeda dikemukakan oleh al-Thabari dan Imam Malik yang membolehkan perempuan menjadi kepala negara, serta Imam Abu Hanifah yang membolehkan perempuan diterima kesaksianya untuk menjabat sebagai hakim dalam urusan selain pidana. Akan tetapi, pendapat al-Thabari dan Imam Malik disanggah oleh al-Qurthubi dengan dalil hadis, ”Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan.”
Al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menegaskan, Hadis itu secara jelas menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi khalifah. Pendapat dari al-Thabari bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin adalah bohong belaka, sebagaimana pendapat Abu Hanifah juga yang menyatakan perempuan boleh menjadi hakim. Artinya, keberadaan perempuan di meja pengadilan hanya untuk memutuskan satu kasus tertentu yang disaksikannya saja. Inilah yang bisa dikatakan tentang pandangan Abu Hanifah dan al-Thabari. Diriwayatkan juga bahwa sahabat ‘Umar bin al-Khattab pernah mengangkat seorang perempuan menjadi polisi pasar. Riwayat ini tidak benar dan hanya merupakan riwayat yang disusupkan oleh para pemalsu hadis.”[18]

Kesimpulan:
Semua orang yang memiliki kredibiitas, kapabilitas memimpin, memiliki jiwa memimpin, dibolehkan untuk memimpin. Tidak harus dari suku Quraisy. Seseorang yang menjadi pemimpin melalui pemilihan pun dibolehkan. Yang masih menjadi polemik adalah pemimpin perempuan. Ada yang membolehkan dan ada juga melarangnya. Karena hadis Rasulullah saw tertuju kepada putri Raja saja.

Saran:
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, agar karya ilmiah berikutnya menjadi lebih baik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca terkhusus bagi penulis.

DAFTAR PUSTAKA
­Al-Asqalani, Ibnu Ḥajar. Faul Baari jilid XXXV, Penerjemah: Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.
Al-Bassam, Abdullāh bin Abd al-Raman. Syarah Bulughul Maram, Penerjemah: Thahirin Supatra, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Baqi, Muhammad Fuad ‘Abdul. Shahīh al-Lu’lu’ wal Marjan. Penerjemah: Abu Rasyad Shiddiq. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2011.
Djazuli, H. A. Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah. Jakarta: Kencana, 2003.
Djazuli, H. A. Fiqih Siyasah Implementasi Ummat dalam Rambu-Rambu Syariah. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Fauzia, Amelia dan Yuniyanti Chuzaifah, Apakah Islam Agama Untuk Perempuan? Jakarta: PBB UIN, 2004.
Ismail, H. M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Kunci Rezeki, Republika.
Larangan Meminta Jabatan, diakses pada 2 April 2013 dari http://alislamu.com/larangan/127-dalam-fitnah-fitnah/3298-larangan-meminta-jabatan.html.
Manshur, ‘Abd al-Qadir. Fikih Wanita Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin. Jakarta: Zaman, 2005.
Syaikh, ‘Abdullāh bin Muhammad bin ‘Abd al-Raḥman bin Isḥaq Alu. Tafsir Ibn Katsir jilid VI, Penerjemah: M. Abdul Ghofar E. M, dkk. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004
Wensinck, A. J. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-adits al-Nabawi, Jilid I, V. Leiden: Brill, 1936.





[1] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Ummat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h, 87.
[2] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2003), h. 59.
[3]  ­A. J. Wensinck al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, Jilid I (Leiden: Brill, 1936), h. 264.
[4] H. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 103.
[5] H. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi, h. 103.
[6] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn Katsir jilid VI, Penerjemah: M. Abdul Ghofar E. M, dkk (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004), h. 18.
[7] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn Katsir, Jilid VI, h. 19.
[8]  ­A. J. Wensinck al-Mu’jam al-Mufahras, Jilid I (Leiden: Brill, 1936), h. 447.
[9] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih al-Lu’lu’ wal Marjan. Penerjemah: Abu Rasyad Shiddiq (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2011), h. 522.
[10] Kunci Rezeki, Republika, h. 69.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fatḥul Baari jilid XXXV, Penerjemah: Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h. 429.
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fatḥul Baari jilid XXXV, h. 431.
[14]  ­A. J. Wensinck al-Mu’jam al-Mufahras, Jilid V (Leiden: Brill, 1936), h. 196.
[15] Amelia Fauzia dan Yuniyanti Chuzaifah, Apakah Islan Agana Untuk Perempuan? (Jakarta: PBB UIN, 2004), h. 35.
[16] Abdullah bin Abd al-Rahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, penerjemah: Thahirin Supatra, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 228.
[17] ‘Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin (Jakarta: Zaman, 2005), h. 102.
[18] ‘Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, h. 103.

Post a Comment

0 Comments